Selasa, 29 September 2009

Dijerat Infus


Jumat(18/9) sore kondisiku ambruk. Aku diserang muntah-berak atau Muntaber. Dalam sehari bisa mencapai delapan kali. Ortu, kakek-nenek, dan bibiku kelabakan dengan penurunan kondisi tubuhku. Dugaanku, penyebabnya berasal es buah yang dibawa Bapak dan titipan nenek dari doa selamatan kakek H Abdul Khalik. Praktis, menjelang Lebaran semua perhatian tersita padaku.
Dua kali aku dibawa ke Puskesmas Plus Sape, siang dan malam, namun hanya disambut basa-basi perawat jaga. Dokternya entah kemana. Pantas saja keluarga pasien korban kecelakaan lalulintas (Lakalantas) protes. Katanya dalam nada marah dan sengit, fasilitas dan pelayanan rumah sakit seluas lebih dari lapangan bola itu tak sebanding dengan mentereng bangunannya. Aku pun tak mendapat perawatan memadai. Jadilah aku dirawat di rumah saja dengan bantuan pegawai Puskesmas.
Senin sore, aku bibi-bibiku mengevakuasiku ke RSUD Bima menumpang mobil keluarga. Aku menikmati perjalanan itu, Bapak, paman n bibi mengekor dengan sepeda motor. Ternyata, kondisiku sudah parah. Lambungku sudah terinfeksi, itu penjelasan awal petugas UGD RSUD Bima. Saat itu, suasana ruangan sempit itu ramai oleh berbagai jenis Lakalantas 'khas' liburan Lebaran dan penyakit lainnya.
Untuk pertama kalinya aku diinfus. Duh, sakitnya luar biasa ketika jarum itu menusuk nadiku. Untungnya bisa ditemukan, karena jika gagal, urat nadi kepalaku yang harus diincar. Syukurlah.
Di UGD perawatan hanya sebentar saja, sekitar setengah janm. Aku dipindahkan ke ruangan lain dan terpaksa ditempatkan di ruangan kelas tiga, gabung dengan sekitar enam pasien seumurku. Maklum ruangan 'kelas rakyat'. Malam itu di ruangan VIP tak ada yang kosong dan baru ada keesokan harinya. Semalam di kelas tiga itulah pengalaman berharga, karena berbaur dengan teman-teman dalam strata ekonomi yang relatif miskin.
Atas usaha Bapak, aku dipindahkan ke VIP B ruangan Mawar keesokan harinya dengan fasilitas yang lebih baik. Para penungguku juga betah, karena bisa beristirahat lebih santai dengan privasi yang lebih terjaga.
Lima hari aku dirawat dengan 11 botol infus. Bapak bolak-balik mengurus administrasi, membeli obat, dan bekerja pada malam harinya. Ibu kerap menangis jika aku Muntaber. Air mata ekspresi kegusarannya, sekaligus bukti sahih kasih dan kecintaannya. Ibu paling peka terhadap hal-hal yang menyentuh, khas naluri keibuan. Bapak sebaliknya, lebih tegar dan rasional terhadap situasi.
Tanda-tanda kesembuhanku akhirnya muncul pada Rabu (23/9). Intensitas Muntaber-ku menurun signifikan. Hingga akhirnya Sabtu (26/9) siang dokter menyilakan check out. Selama dirawat, keluargaku silih berganti menjenguk dengan 'buah tangan' yang sama sekali tak bisa kunikmati. Justru menjadi incaran penunggu he..he..(blessing in disguise). Teman-teman Ortu-ku juga mengunjungiku, mereka bahkan bikin rujak di ruangan yang agak luas itu. Ramai deh...Di lingkungan VIP B, hanya aku yang paling kecil, semua pasien orangnya gede-gede. Pada saat tertentu, Bapak dan bibi membawaku keluar ruangan dengan tiang infus yang dipenuhi balon beraneka warna. Ada juga mobil mainan yang dibeli Ibu di pasar Raba.
Oh ya, selama dirawat ada empat pasien yang meninggal dunia sehingga menyebabkan suasana RSUD Bima ramai. Ya, ramai dengan keluarga korban dan tangis yang memecah kesunyian. Ibu, bibi Fitriah, dan nenek kerap mendatangi sekadar ingin mengetahui info.
Sekarang aku sudah kembali ke rumah, namun dalam kondisi yang belum sepenuhnya stabil. Kondisiku berangsur-angsur membaik. Pengalaman selama dibelit Muntaber itu menjadi pelajaran penting bagi perjalanan hidupku kelak. Kata perawat akan kuingat: Jangan pernah kembali lagi dalam status pasien...
Nah, segitu aja ceritaku selama menderita Muntaber.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar