Minggu, 30 Agustus 2009

New Vario Motorcycle



Pekan pertama Ramadan 1430 Hijriyah, kakek membeli sepeda motor baru merek Vario. Nyicil di dealer. Warga dasar hitam dipilih, walau sebenarnya niatnya warna merah. Tak apalah, toh fungsinya sama. Motor itu dipakai Tante Fitriah kalau mengajar dan berbagai keperluan lainnya. Belajar motor jenis baru itu heboh juga. Soalnya bentuknya mirip Vespa, giginya tak ada sehingga mesti lincah memainkan gas. Nah, Tante Fitriah masih awam soal itu sehingga belajar dari nol. Tanao mpungga poda. Pantas saja punggungnya kaku, seperti tiang listrik di halaman rumah kakek n nenek di kampung Sigi. Kadang terjatuh, terutama saat tikungan dan tanjakan. Untungnya, tak berbekas parah di tubuhnya. Atau jangan-jangan Tante suka mikiran doi ya...(he..he..)
Sekarang perkembangan belajar nyetirnya sudah ada kemajuan. Dalam jarak puluhan meter jarang menurunkan kaki. Tapi, kata Bapak saat lewat gang samping eks bioskop Sape, kalau papasan dengan benhur Tante Fitriah berhenti dulu menunggu lewat. Kalau benhurnya dua sih ngak apa-apa, kalau sepuluh wah lama dong. Aku jadi mengerti jika Bapak pernah bilang kalau skor belajarnya baru pada angka 5,5.
Oh ya, karena agak luas bagian leher "kuda Jepang" itu kujadikan areal mainan. Bahkan, lokasi strategis untuk makan sambil disuapi ibu. Lokasi itu pula yang seringkali rebutan ama Aulia, sepupuku. "Perang dingin" pun terjadi. Karena itu aku ogah turun kalau udah naik. Saat kesempatan lain, Om Firman n Om Adnan suka ngajak jalan-jalan putar gang kampung. Senang juga sih, terutama sore hari. Itung-itung JJS, Jalan-Jalan Sore. Udah ya, perkembangan belajar Tante Fitriah ntar kulaporin lagi. Trims daa..daa..da..

Memaknai Kemerdekaan


SUDAHKAH kita merdeka dalam arti kata yang sesungguhnya? Sebagian masyarakat Indonesia (dan Bima) seringkali lantang menyatakan belum. Lontaran itu bisa dibaca dalam berbagai pendapat dan pemberitaan media massa. Alasannya antara lain karena membandingkan, berbagai ketinggalan dibandingkan dengan daerah atau wilayah lainnya. Misalnya, beraspal mulus, sudah dimasuki jaringan listrik, dan fasilitas lainnya.
Secara riil, Indonesia sudah membebaskan diri dari belenggu penjajahan dan memroklamirkan diri pada 17 Agustus 1945 setelah melewati perjuangan panjang dan melelahkan. Perjuangan itu kini sudah berjarak 64 tahun. Saatnya, makna kemerdekaan itu digugat bersama. Terus-menerus direnungkan dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kemerdekaan yang diraih dengan air mata dan darah itu mesti dielaborasi oleh generasi hari ini, menjadikannya titik tolak baru untuk memantapkan tekad dan semangat membangun bangsa yang beradab.
Selain itu, kemerdekaan itu harus mampu menjadi ruh baru bagi upaya memerangi tindakan dan perilaku menyimpang. Mereka yang merugikan negara atau berperilaku menyimpang adalah pengkhianat kemerdekaan. Pengkhianat para pahlawan. Kemerdekaan ini, sejatinya harus dijabarkan dalam tekad bersama menghapus ketidakadilan, korupsi, dan penyimpangan lainnya.
Bagi para penguasa, keteladanan sikap dan perilaku serta kegigihan memerjuangkan kesejahteraan rakyat adalah sebagian dari cara memaknai kemerdekaan. Rakyat menanti idealitas sikap seperti itu. Keteladanan itu (terus) ditunjukkan di depan rakyat--untuk sebagian tujuan--agar mereka percaya bahwa para pemimpin mereka sesungguhnya sedang dalam jalur yang memihak kepentingan rakyat. Bukan sebaliknya, dalam posisi mengangkangi hak-hak mereka.
Mari kita jadikan momentum perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-64 Kemerdekaan RI sebagai titik berangkat baru memotivasi menggelorakan semangat membangun. Kemerdekaan itu adalah jalan baru yang memerdekakan rakyat dalam berbagai dimensi kehidupan. Bebas dari rasa takut, bebas dari kemiskinan, bebas dari ketidakadilan, dan bebas dari pemasungan hak-hak mendasar yang seharusnya dimiliki rakyat.
Kita impikan, Indonesia hari ini seperti dalam sketsa awal para ‘founding father’ yakni negeri yang maju dan sejahtera. Negeri yang kaya potensi ini menanti sentuhan yang lebih berarti. Ya, dari kita semua. Agar kemerdekaan itu bermakna! Semoga. (*)